S e l a m a t   D a t a n g di Pusat Sumber Belajar SMA Negeri 1 Kota Cirebon, Info : ......

Senin, 03 Februari 2014

Mendikbud: Awal April Soal UN Sudah Masuk ke Provinsi

Dua bulan lagi, tepatnya 14 April akan dilaksanakan Ujian Nasional (UN), setingkat SMP dan SMA. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menjamin pada awal April semua soal UN sudah sampai ke semua provinsi.
"Sekarang sudah mulai tender, awal Maret nanti mulai cetak," ujar Mendikbud di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (1/2/2014). Ia mengatakan, Kemdikbud saat ini sedang membuka proses tender dan sudah tiga hari yang lalu tender dimulai, dan banyak yang berminat mengikuti tender UN.
"Awal pertengahan Februari sudah bisa kita tetapkan pemenangnya dan sudah bisa dimulai percetakan dan penggandaanya," kata Mendikbud.
Ia berharap, awal Maret soal UN sudah mulai dicetak dan bahkan diharapkan akhir Februari sudah bisa mulai cetak sehingga ditargetkan awal April soal-soal UN sudah mulai masuk ke provinsi. Mendikbud menambahkan, khusus untuk daerah-daerah terpencil dan yang berada di pelosok, soal UN sudah bisa masuk ke kabupaten-kabupaten pada awal April.
"Untuk tahun ini pelaksanaan UN sudah siap, dan anggarannya pun sudah disiapkan," jelasnya. Menteri Nuh mengungkapkan tidak mau mengulangi hal yang sama seperti tahun lalu, yakni keterlambatan pencetakan soal. Untuk itu, untuk tahun ini proses pencetakan dibagi menjadi delapan regional.
"Tahun ini kita mulai dengan 8 region, tender sudah banyak yang mendaftar. Sehingga kita lebih leluasa untuk memilih," jelasnya. (PIH) 
Sumber : http://www.kemdiknas.go.id/

Kamis, 28 November 2013

Pendidikan Menegah Universal untuk Mempersiapkan Generasi Masa Depan

Oleh Bambang Indiryanto
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemdikbud
Ketika kebijakan pendidikan dikaitkan dengan generasi masa depan, kebijakan tersebut mempunyai suatu landasasan konseptual. Berdasarkan pada Human Capital Theory intervensi kebijakan pendidikan merupakan bentuk investasi pada diri manusia. Setiap intervensi pada diri manusia melalui pendidikan akan memberikan nilai balik tidak hanya pada inividu yang mendapatkan pendidikan, tetapi juga pada lingkungan sosial dari individu tersebut. Nilai balik balik yang dirasakan oleh individu yang mendapatkan pendidikan disebut dengan private benefit, sedangkan nilai balik yang berdampak positif bagi lingkungan sosial disebut dengan social benefit.
Private benefit berupa peningkatan taraf kehidupan inividu yang bersangkutalamatan. Nilai balik tersebut biasanya diukur dengan tingkat kesejahteraan ekonomi karena penghasilannya meningkat seiring dengan peningkatan pendidikannya. Demikian juga dalam konteks social benefits peningkatan jenjang pendidikan warga negara suatu negara akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga negara tersebut, karena peningkatan pendidikan warga suatu negara akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Contoh yang sering digunakan untuk memberikan ilustrasi kesuksesan investasi di bidang pendidikan adalah negara Jepang dan Korea Selatan. Pertumbuhan ekonomi pada kedua negara ini bukan karena kekayaan sumber daya alam tetapi karena kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, pada dekade 80an kedua negara ini disebut dengan Macan Asia. Kecenderungan yang terjadi di kedua negara ini kemudian diikuti oleh negara Cina telah mulai menunjukkan pertubuhan ekonomi yang pesat sejak awal tahun 90an.
Tentu saja nilai balik tidak hanya diukur dengan perbaikan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi lain. Pada negara-negara yang pendidikan warga negaranya relatif tinggi harmonisasi kehidupan sosial dan demokratisasi dalam kehidupan politiknya juga lebih baik dibanding dengan negara-negara yang warga negaranya memiliki pendidikan yang relatif rendah.
Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mecanangkan kebijakan Pendidikan Menengah Universal (PMU) merupakan bentuk investasi pada diri manusia. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa untuk mempersiapkan generasi masa depan?. Hal ini didasarkan pada suatu argumentasi yang disepakati oleh pada ahli ekonomi pendidikan dan ahli pendidikan (educationist), dampak dari investasi pada diri manusia melalui pendidikan tidak terjadi pada jangka pendek, tetapi pada jangka panjang tepatnya bersifat generasional. Jika PMU tersebut dicanangkan pada saat ini, dampaknya adalah ketika para lulusan pendidikan menengah tersebut telah memasuki dunia kerja dan memberikan sumbangan dalam peningkatan produktivitas nasional.
Meskipun kebijakan yang diluncurkan oleh Kemdikbud adalah PMU, tentu saja tidak dimaksudkan bahwa mereka yag telah terdaftar pada satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah hanya berhenti ketika lulus. Justru kelulusan pada dari satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah menjadi aspirasi untuk melanjutkan pada jenjang pendidikan tinggi. Pada saat mereka telah menyelesaikan jenjang pendidikan, ketika itu mereka telah siap untuk memasuki dunia kerja.
Agar kebijakan PMU sebagai bentuk investasi yang mengantarkan generasi sekarang menjadi generasi masa depan yang kompeten dan produktif di masa depan terdapat tiga kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu nondiskriminatif, afirmatif, dan kualitas. Dua kriteria pertama berkaitan dengan peningkatan akses. Dengan kriteria nondkriminatif dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang setara kepada semua warga negara Indonesia lulusan jenjang pendidikan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidian menengah. Kesempatan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan menengah tidak boleh dibedakan berdasarkan pada warna kulit, agama, suku bangsa. Ketika ada lulusan jenjang pendidikan dasar yang berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomis, kesempatan yang sama tetap harus diberikan kepada mereka. Kesempatan tersebut diwujudkan melalui kebijakan afirmatif dengan memberikan dukungan finansial kepada mereka. Tanpa bantuan finansial mereka tidak akan mendapat kesempatan yang sama dengan teman mereka yang berasal dari keluarga yang lebih mampu secara ekonomi.
Kualitias pelayanan pendidikan merupakan harga yang tidak bisa ditawar jika ingin menghantarkan generasi sekarang ke masa depan yang lebih kompeten dan produktif. Mutu tidak hanya dimaknai dengan hasil tetapi juga proses. Kurikulum 2013 menjadi titik tolak untuk mengarahkan pelayanan pendidikan menengah yang bermutu. Tentu saja Kurikulum 2013 akan menjadi titik tolak pelayanan pendidikan menengah yang bermutu ketika didukung oleh guru yang kompeten dalam mengajar dan ketersediaan sarana pendidikan yang memadai.

Sumber http://www.kemdikbud.go.id

Rabu, 25 September 2013

Menanamkan Pendidikan Karakter Bangsa Adalah Suatu Prioritas

Mendidik karakter adalah bahasan unik, mengapa unik? Karena bahasan ini bisa “lari” kemana-mana bila kita membahas tentang manusia. Dan masalah tentang manusia adalah pekerjaan yang tidak ada habisnya, dari manusia lahir hingga meninggal banyak kejadian ajaib serta memalukan terjadi dalam kehidupannya.
Manusia adalah faktor penting dalam menciptakan kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik dan sejahtera itu dapat dibentuk dan diciptakan. Pertanyaannya bagaimana membentuknya?
Bentuklah dari kebiasaan. Sebagai contoh, di Hong Kong kepadatan lalu lintas tidak seruwet di Jakarta, bahkan cenderung sepi dan lenggang. Dengan penduduk sekitar 8,8 juta lalu lintas kendaraan di Hong Kong termasuk lenggang, bahkan hari-hari sibuk juga lenggang. Apa orang hongkong tidak memiliki kendaraan? Tidak, ternyata di Hong Kong ada 2 kehidupan, kehidupan di dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia yang saya maksudkan lenggang, tetapi dunia bawah adalah jalur subway atau kereta bawah tanah.
Jelas lebih padat aktifitas transportasi di dunia bawah. Hampir semua penduduk Hong Kong menggunakan fasilitas ini. Walaupun padat, tetapi meraka sangat teratur. Keluar melalui pintu samping kanan dan penumpang masuk melalui pintu samping kiri, rapi dan teratur. Bagaimana ini bisa terjadi?
Ternyata ini adalah proses dari pembiasaan, hal ini sudah di biasakan sejak anak di sekolah dasar, sekolah mengajarkan keteraturan-keteraturan ini sejak usia dini. Mereka dibiasakan untuk melakukan ini, sehingga kelak mereka terbiasa. Para pembaca sekalian, anda tahu berapa waktu yang di butuhkan untuk membentuk karakter seperti ini? Apakah 6 bulan? 1 tahun? Ini butuh proses yang cukup lama dan perlu dibudayakan.
Indonesia memiliki nenek moyang yang ramah tamah dan sangat santun dalam berelasi dengan sesama dan kehidupan kesehariannya. Tetapi mengapa hingga ke belakang (saat ini), nilai itu pudar semua? Australia, suku asli Aborigin, mereka jauh tidak beradap dan jauh lebih brutal dari nenek moyang kita, tetapi kini mereka masuk dalam kategori negara yang sangat teratur dan tingkat kehidupan yang cenderung makmur. Ungkap seorang kawan yang bercerita kepada saya. Teringat juga saya ketika rekan saya lebih tepatnya dosen pembimbing skripsi saya saat pulang dari Australia dan kita bertemu di tahun 2012. Dia bercerita, saat terjadi banjir yang melumpuhkan Brisbane, dosen saya termasuk orang yang beruntung karena dia tinggal di flat yang agak tinggi dan tidak perlu mengungsi. “Orang disana tidak egois, rumah yang masih ada penghuninya saling di datangi, entah mereka kenal apa tidak. Mereka ketok setiap pintu mereka tawarkan bahan makan dan selimut, bertanya apa yang kita butuhkan, mereka saling berbagi dengan mudahnya dan ikhlas”, “apakah itu petugas khusus penanganan bencana yang datang kerumah anda?” tanya saya, “bukan, itu adalah tetangga–tetangga saya yang senasib dengan saya, dan mereka tidak tinggal di pengungsian” merinding saya dengar cerita tersebut. Bagaimana mereka dapat hidup berdampingan seperti itu dan memperlakukan orang lain yang bukan asli Australia seperti itu, tanpa pamrih.
Seandainya kita bisa berlaku seperti negara tetangga kita, indahnya hidup dan kebersamaan ini. Hingga akhirnya saya diberi tahu suatu fakta yang membuat otak saya “kram” sesaat. Ternyata untuk mendidik dan menanamkan sikap seperti di negara tetangga kita itu butuh waktu minimal 16 tahun, secara kontinyu dan konsisten. Dan untuk mendidik anak baca dan tulis serta berhitung tidak lebih dari 6 bulan. Orangtua di Australia, tidak pusing jika anaknya belum bisa baca tulis, karena itu akan dikuasai dalam 6 bulan ke depan, tetapi sikap disiplin dan pembentukan karakter diterapkan sedini mungkin, mereka tahu itu lebih penting dari sekedar baca tulis diusia 3 -5 tahun.
Semoga hal ini bermanfaat, dapat membawa pencerahan dan kebaikan bagi negara kita, dan tetap semangat dan majulah pendidikan karakter di Indonesia.

Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas

Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.

Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.

Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.

Sumber : Pendidikankarakter.com

Senin, 10 Juni 2013

Unesco Dorong Pemuda Berani Bicara

Jakarta - Kaum muda Indonesia tidak hanya ingin menjadi objek dalam pembangunan nasional, tapi juga subjek yang memberi kontribusi di dalamnya. Untuk memfasilitasi keinginan tersebut, Komite Nasional Indonesia untu UNESCO (KNIU) menyelenggarakan Youth Desk Workshop untuk para pemuda. Workshop ini dibuka oleh Ketua KNIU Arief Rachman, di gedung Kemdiknas, Rabu (27/04).
"Workshop ini untuk mendengarkan suara pemuda, jadi kalian harus speak up," katanya saat membuka workshop tersebut.
Ada empat isu yang akan dibicarakan dalam workshop ini, yang disebut dengan 4e. Engage, yaitu untuk merangkul solidaritas antar pemuda. Ensure, meyakinkan bahwa pemuda Indonesia bisa ambil bagian dalam pembangunan. Encourage, menyelenggarakan dialog untuk membahas isu-isu yang sedang berkembang di regional maupun internasional, dan Empower, untuk memberdayakan potensi pemuda.
YouthDesk Workshop merupakan langkah awal UNESCO untuk menyuarakan suara pemuda. Indonesia patut berbangga, karena dari 196 negara dalam UNESCO, baru 7 negara yang memiliki perwakilan pemuda termasuk Indonesia di dalamnya.
Arief menyebutkan, ada kecenderungan dalam siklus 20 tahunan di Indonesia terjadi perubahan-perubahan yang dipelopori oleh pemuda. Yaitu tahun 1908 berdirinya Boedi Oetomo, 1928 tercetusnya sumpah pemuda, 1945 Indonesia Merdeka, 1965 penumpasan G30S PKI, 1997 reformasi, dan dikhawatirkan akan terjadi perubahan-perubahan lagi dalam waktu dekat.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Arief mengajak para pemuda untuk menyuarakan aspirasinya wadah yang tepat. "Untuk itulah workshop ini kita adakan, agar suara para pemuda bisa di dengar dengan baik," katanya.
Turut hadir juga dalam acara tersebut Kepala Bidang Peningkatan Sumber Daya Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Mirhan Tabrani, yang menyampaikan bahwa Kemenpora juga memiliki program-program  kepemudaan  untuk meningkatkan potensi dan pengembangan karakter pemuda secara nasional maupun internasional.
"Dalam setiap kesempatan kami selalu mendorong pemuda untuk selalu berada di garda paling depan dalam meraih kemajuan. Diantaranya melalui revitalisasi  gerakan pramuka, jambore pemuda Indonesia, program kapal pemuda nusantara Pertukaran pemuda internasional (PPIK, PPIA, PPIM, PPIKor, SSEAYP, JENESYS, dan PPICin), Konferensi-konferensi dan youth forum , Pengiriman delegasi pemuda Indonesia ke luar negeri," katanya.
Perwakilan United Nations Volunteer (UNV) Iulia Seviuc dari Moldova mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan tingkat sensitifitas relawan yang tinggi. Baik relawan kemanusiaan maupun relawan untuk bencana. "Dari berbagai kegiatan relawan, Indonesia banyak memegang peran," tuturnya.
Workshop ini mendatangkan peserta sebanyak 60 orang yang berasal dari SMA, Perguruan Tinggi, Organisasi Kepemudaan, Jurnalis muda, dan kalangan artis muda. (aline)

Kampus Diminta Tangkal Radikalisme

Jakarta - Maraknya tindakan radikal yang menjurus ke tindakan kekerasan akhir-akhir ini turut menyeret peranan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Kampus telah menjadi target untuk merekrut mahasiswa ikut dalam gerakan radikal tersebut.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menilai tumbuhnya nilai-nilai radikalisme di lingkungan perguruan tinggi karena adanya ruang kosong di kampus. "Rumus umumnya itu, kalau kita punya lahan, dan kita biarkan, maka nanti lahan itu akan diisi orang. Pemikiran ataupun aktivitas yang ada di kampus, kalau tidak terisi, akan diisi oleh yang lain,"  ujar Menteri Nuh, di sela-sela acara pemberian Bantuan Siswa Miskin Jenjang SD, di Cilincing, Jakarta Utara, (27/04).
Menteri Nuh mengatakan, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menghindari munculnya aliran radikalisme di lingkungan kampus. Pertama, tidak memberikan ruang kosong untuk kegiatan-kegiatan yang mengarah ke radikalisasi. "Semua ruang yang ada di institusi pendidikan harus diisi. Mulai dari ruang kegiatan sampai dengan ruang pemikiran," ujarnya. Bentuk kegiatannya bisa bermacam-macam, misalnya dengan bakti sosial, merakit robot, atau mengadakan diskusi-diskusi pemikiran yang jauh dari pemikiran radikal.
Cara kedua, kampus harus bisa menyiapkan kemampuan untuk mengantisipasi masuknya pemikiran radikal ke dalam kampus. "Caranya, proses pembelajaran dan materi pembelajaran harus dipastikan memiliki kemampuan untuk mengantisipasi atau menolak kalau ada pemikiran-pemikiran yang tidak benar," ucap Mendiknas.
Menteri Nuh menilai, isu adanya gerakan radikal dengan niat mendirikan negara berbasis agama, memiliki dua kandungan pemikiran. Pertama, pemikiran yang terkait dengan kenegaraan. Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut empat pilar, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Alasan munculnya keinginan mendirikan negara berbasis agama di Indonesia adalah karena tidak sejalan dengan prinsip empat pilar itu. "Karena itu mata pelajaran yang terkait dengan kenegaraan, misalnya PPKn, Kewarganegaraan, harus lebih dikembangkan, ditanamkan lagi, diinternalisasi kepada peserta didik," ujarnya.
Kemudian kandungan pemikiran yang kedua adalah ajaran radikalisme itu sendiri. Menurut Mendiknas, ada tiga hal yang menyebabkan seseorang bisa menjadi radikal atau tidak. Pertama, faktor kondisi, misalnya kemiskinan atau ketidakadilan; kedua, kurangnya pemahaman; dan ketiga, terkait dengan institusi dan organisasi. "Begitu ada organisasi yang memang arahnya menanamkan nilai-nilai radikalitas, harus segera dibuat klarifikasinya, penjelasan, dan dilakukan pendekatan supaya tidak melakukan ajaran itu."

Mendiknas telah menginstruksikan kepada para pimpinan perguruan tinggi untuk ikut terlibat dalam mengamankan seluruh ruang gerak di lingkungan kampus, supaya tidak tercipta ruang kosong. "Kadang-kadang ruangnya masih banyak yang kita lepaskan sehingga kadang-kadang tidak terkontrol. Tapi harus semuanya kita isi," tegasnya.
Kemdiknas belum melakukan pertemuan formal dengan para pimpinan perguruan tinggi untuk membahas masalah ini. Namun Mendiknas menyatakan telah berkomunikasi dengan para pemimpin perguruan tinggi untuk membicarakan isu ini. Diharapkan, pengawasan terhadap ruang-ruang atau kegiatan di kampus dapat dilakukan dengan baik.
Kemdiknas juga telah mengkaji ukang kurikulum di perguruan tinggi. Kurikulum harus sesuai dengan konteks pendidikan berbasis karakter, khususnya karakter kebangsaan. "Seseorang kalau sudah paham karakter kebangsaan, dia tidak akan mengubah pilar bangsa menjadi pilar XYZ," ucapnya. (lian)