Jakarta - Maraknya tindakan radikal yang
menjurus ke tindakan kekerasan akhir-akhir ini turut menyeret peranan
lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Kampus telah menjadi
target untuk merekrut mahasiswa ikut dalam gerakan radikal tersebut.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh
menilai tumbuhnya nilai-nilai radikalisme di lingkungan perguruan
tinggi karena adanya ruang kosong di kampus. "Rumus umumnya itu, kalau
kita punya lahan, dan kita biarkan, maka nanti lahan itu akan diisi
orang. Pemikiran ataupun aktivitas yang ada di kampus, kalau tidak
terisi, akan diisi oleh yang lain," ujar Menteri Nuh, di sela-sela
acara pemberian Bantuan Siswa Miskin Jenjang SD, di Cilincing, Jakarta
Utara, (27/04).
Menteri Nuh mengatakan, ada dua cara
yang bisa dilakukan untuk menghindari munculnya aliran radikalisme di
lingkungan kampus. Pertama, tidak memberikan ruang kosong untuk
kegiatan-kegiatan yang mengarah ke radikalisasi. "Semua ruang yang ada
di institusi pendidikan harus diisi. Mulai dari ruang kegiatan sampai
dengan ruang pemikiran," ujarnya. Bentuk kegiatannya bisa
bermacam-macam, misalnya dengan bakti sosial, merakit robot, atau
mengadakan diskusi-diskusi pemikiran yang jauh dari pemikiran radikal.
Cara kedua, kampus harus bisa menyiapkan
kemampuan untuk mengantisipasi masuknya pemikiran radikal ke dalam
kampus. "Caranya, proses pembelajaran dan materi pembelajaran harus
dipastikan memiliki kemampuan untuk mengantisipasi atau menolak kalau
ada pemikiran-pemikiran yang tidak benar," ucap Mendiknas.
Menteri Nuh menilai, isu adanya gerakan
radikal dengan niat mendirikan negara berbasis agama, memiliki dua
kandungan pemikiran. Pertama, pemikiran yang terkait dengan kenegaraan.
Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut empat pilar, yaitu
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Alasan munculnya keinginan
mendirikan negara berbasis agama di Indonesia adalah karena tidak
sejalan dengan prinsip empat pilar itu. "Karena itu mata pelajaran yang
terkait dengan kenegaraan, misalnya PPKn, Kewarganegaraan, harus lebih
dikembangkan, ditanamkan lagi, diinternalisasi kepada peserta didik,"
ujarnya.
Kemudian kandungan pemikiran yang kedua
adalah ajaran radikalisme itu sendiri. Menurut Mendiknas, ada tiga hal
yang menyebabkan seseorang bisa menjadi radikal atau tidak. Pertama,
faktor kondisi, misalnya kemiskinan atau ketidakadilan; kedua, kurangnya
pemahaman; dan ketiga, terkait dengan institusi dan organisasi. "Begitu
ada organisasi yang memang arahnya menanamkan nilai-nilai radikalitas,
harus segera dibuat klarifikasinya, penjelasan, dan dilakukan pendekatan
supaya tidak melakukan ajaran itu."
Mendiknas telah menginstruksikan kepada
para pimpinan perguruan tinggi untuk ikut terlibat dalam mengamankan
seluruh ruang gerak di lingkungan kampus, supaya tidak tercipta ruang
kosong. "Kadang-kadang ruangnya masih banyak yang kita lepaskan sehingga
kadang-kadang tidak terkontrol. Tapi harus semuanya kita isi,"
tegasnya.
Kemdiknas belum melakukan pertemuan
formal dengan para pimpinan perguruan tinggi untuk membahas masalah ini.
Namun Mendiknas menyatakan telah berkomunikasi dengan para pemimpin
perguruan tinggi untuk membicarakan isu ini. Diharapkan, pengawasan
terhadap ruang-ruang atau kegiatan di kampus dapat dilakukan dengan
baik.
Kemdiknas juga telah mengkaji ukang
kurikulum di perguruan tinggi. Kurikulum harus sesuai dengan konteks
pendidikan berbasis karakter, khususnya karakter kebangsaan. "Seseorang
kalau sudah paham karakter kebangsaan, dia tidak akan mengubah pilar
bangsa menjadi pilar XYZ," ucapnya. (lian)