S e l a m a t   D a t a n g di Pusat Sumber Belajar SMA Negeri 1 Kota Cirebon, Info : ......

Senin, 10 Juni 2013

Unesco Dorong Pemuda Berani Bicara

Jakarta - Kaum muda Indonesia tidak hanya ingin menjadi objek dalam pembangunan nasional, tapi juga subjek yang memberi kontribusi di dalamnya. Untuk memfasilitasi keinginan tersebut, Komite Nasional Indonesia untu UNESCO (KNIU) menyelenggarakan Youth Desk Workshop untuk para pemuda. Workshop ini dibuka oleh Ketua KNIU Arief Rachman, di gedung Kemdiknas, Rabu (27/04).
"Workshop ini untuk mendengarkan suara pemuda, jadi kalian harus speak up," katanya saat membuka workshop tersebut.
Ada empat isu yang akan dibicarakan dalam workshop ini, yang disebut dengan 4e. Engage, yaitu untuk merangkul solidaritas antar pemuda. Ensure, meyakinkan bahwa pemuda Indonesia bisa ambil bagian dalam pembangunan. Encourage, menyelenggarakan dialog untuk membahas isu-isu yang sedang berkembang di regional maupun internasional, dan Empower, untuk memberdayakan potensi pemuda.
YouthDesk Workshop merupakan langkah awal UNESCO untuk menyuarakan suara pemuda. Indonesia patut berbangga, karena dari 196 negara dalam UNESCO, baru 7 negara yang memiliki perwakilan pemuda termasuk Indonesia di dalamnya.
Arief menyebutkan, ada kecenderungan dalam siklus 20 tahunan di Indonesia terjadi perubahan-perubahan yang dipelopori oleh pemuda. Yaitu tahun 1908 berdirinya Boedi Oetomo, 1928 tercetusnya sumpah pemuda, 1945 Indonesia Merdeka, 1965 penumpasan G30S PKI, 1997 reformasi, dan dikhawatirkan akan terjadi perubahan-perubahan lagi dalam waktu dekat.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Arief mengajak para pemuda untuk menyuarakan aspirasinya wadah yang tepat. "Untuk itulah workshop ini kita adakan, agar suara para pemuda bisa di dengar dengan baik," katanya.
Turut hadir juga dalam acara tersebut Kepala Bidang Peningkatan Sumber Daya Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Mirhan Tabrani, yang menyampaikan bahwa Kemenpora juga memiliki program-program  kepemudaan  untuk meningkatkan potensi dan pengembangan karakter pemuda secara nasional maupun internasional.
"Dalam setiap kesempatan kami selalu mendorong pemuda untuk selalu berada di garda paling depan dalam meraih kemajuan. Diantaranya melalui revitalisasi  gerakan pramuka, jambore pemuda Indonesia, program kapal pemuda nusantara Pertukaran pemuda internasional (PPIK, PPIA, PPIM, PPIKor, SSEAYP, JENESYS, dan PPICin), Konferensi-konferensi dan youth forum , Pengiriman delegasi pemuda Indonesia ke luar negeri," katanya.
Perwakilan United Nations Volunteer (UNV) Iulia Seviuc dari Moldova mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan tingkat sensitifitas relawan yang tinggi. Baik relawan kemanusiaan maupun relawan untuk bencana. "Dari berbagai kegiatan relawan, Indonesia banyak memegang peran," tuturnya.
Workshop ini mendatangkan peserta sebanyak 60 orang yang berasal dari SMA, Perguruan Tinggi, Organisasi Kepemudaan, Jurnalis muda, dan kalangan artis muda. (aline)

Kampus Diminta Tangkal Radikalisme

Jakarta - Maraknya tindakan radikal yang menjurus ke tindakan kekerasan akhir-akhir ini turut menyeret peranan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Kampus telah menjadi target untuk merekrut mahasiswa ikut dalam gerakan radikal tersebut.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menilai tumbuhnya nilai-nilai radikalisme di lingkungan perguruan tinggi karena adanya ruang kosong di kampus. "Rumus umumnya itu, kalau kita punya lahan, dan kita biarkan, maka nanti lahan itu akan diisi orang. Pemikiran ataupun aktivitas yang ada di kampus, kalau tidak terisi, akan diisi oleh yang lain,"  ujar Menteri Nuh, di sela-sela acara pemberian Bantuan Siswa Miskin Jenjang SD, di Cilincing, Jakarta Utara, (27/04).
Menteri Nuh mengatakan, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menghindari munculnya aliran radikalisme di lingkungan kampus. Pertama, tidak memberikan ruang kosong untuk kegiatan-kegiatan yang mengarah ke radikalisasi. "Semua ruang yang ada di institusi pendidikan harus diisi. Mulai dari ruang kegiatan sampai dengan ruang pemikiran," ujarnya. Bentuk kegiatannya bisa bermacam-macam, misalnya dengan bakti sosial, merakit robot, atau mengadakan diskusi-diskusi pemikiran yang jauh dari pemikiran radikal.
Cara kedua, kampus harus bisa menyiapkan kemampuan untuk mengantisipasi masuknya pemikiran radikal ke dalam kampus. "Caranya, proses pembelajaran dan materi pembelajaran harus dipastikan memiliki kemampuan untuk mengantisipasi atau menolak kalau ada pemikiran-pemikiran yang tidak benar," ucap Mendiknas.
Menteri Nuh menilai, isu adanya gerakan radikal dengan niat mendirikan negara berbasis agama, memiliki dua kandungan pemikiran. Pertama, pemikiran yang terkait dengan kenegaraan. Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut empat pilar, yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Alasan munculnya keinginan mendirikan negara berbasis agama di Indonesia adalah karena tidak sejalan dengan prinsip empat pilar itu. "Karena itu mata pelajaran yang terkait dengan kenegaraan, misalnya PPKn, Kewarganegaraan, harus lebih dikembangkan, ditanamkan lagi, diinternalisasi kepada peserta didik," ujarnya.
Kemudian kandungan pemikiran yang kedua adalah ajaran radikalisme itu sendiri. Menurut Mendiknas, ada tiga hal yang menyebabkan seseorang bisa menjadi radikal atau tidak. Pertama, faktor kondisi, misalnya kemiskinan atau ketidakadilan; kedua, kurangnya pemahaman; dan ketiga, terkait dengan institusi dan organisasi. "Begitu ada organisasi yang memang arahnya menanamkan nilai-nilai radikalitas, harus segera dibuat klarifikasinya, penjelasan, dan dilakukan pendekatan supaya tidak melakukan ajaran itu."

Mendiknas telah menginstruksikan kepada para pimpinan perguruan tinggi untuk ikut terlibat dalam mengamankan seluruh ruang gerak di lingkungan kampus, supaya tidak tercipta ruang kosong. "Kadang-kadang ruangnya masih banyak yang kita lepaskan sehingga kadang-kadang tidak terkontrol. Tapi harus semuanya kita isi," tegasnya.
Kemdiknas belum melakukan pertemuan formal dengan para pimpinan perguruan tinggi untuk membahas masalah ini. Namun Mendiknas menyatakan telah berkomunikasi dengan para pemimpin perguruan tinggi untuk membicarakan isu ini. Diharapkan, pengawasan terhadap ruang-ruang atau kegiatan di kampus dapat dilakukan dengan baik.
Kemdiknas juga telah mengkaji ukang kurikulum di perguruan tinggi. Kurikulum harus sesuai dengan konteks pendidikan berbasis karakter, khususnya karakter kebangsaan. "Seseorang kalau sudah paham karakter kebangsaan, dia tidak akan mengubah pilar bangsa menjadi pilar XYZ," ucapnya. (lian)